Manado (ANTARA) - Kearifan lokal merupakan kepandaian atau kecakapan bertindak yang didasari pada pengalaman dan pengetahuan masyarakat yang bermukim di suatu tempat. Hal ini disarikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring. Pengetahuan masyarakat setempat yang hidup melalui sastra lisan yang berkembang secara turun temurun.

Sastra lisan merupakan monumen tata nilai masyarakat di suatu daerah yang diakui sejak dulu. Yus Rusyana (1975:2) menyatakan sastra lisan telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Hal ini merupakan media pemahaman pewarisan nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat.

Media penyebaran karya sastra lisan zaman dahulu menurut Danandjaja (1994:5) disampaikan melalui cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Melalui beragam bentuk sastra lisan inilah tata nilai masyarakat di suatu daerah diwariskan dan di-getuktular-kan oleh masyarakat penuturnya.

Pewarisan tata nilai masyarakat dapat pula ditemui melalui kekayaan cerita rakyat yang hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini sejalan dengan Endraswara (2018:5) bahwa cerita rakyat merupakan salah satu wujud sastra lisan dalam masyarakat yang dihidupkan melalui lisan yang memuat hal-hal yang berbentuk kebudayaan, sejarah, sosial masyarakat, sesuai ranah kesusastraan yang dilahirkan dan disebarluaskan secara turun temurun. Segala bentuk tersebut dapat diurai dengan menyelisik kearifan lokal melalui cerita rakyat.

Mengacu pada KBBI daring dinyatakan bahwa cerita rakyat merupakan cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Menyelisik kearifan lokal dalam cerita rakyat yang hidup dalam masyarakat Minahasa Tenggara, khususnya Tonsawang tentu sangat menarik. Namun, sayangnya kearifan lokal dalam cerita rakyat Tonsawang masih belum secara maksimal ditelisik dibandingkan cerita rakyat di wilayah Minahasa lainnya. Oleh karena itu, penelitian tentang hal ini dilakukan oleh tim peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Unit Pelaksana Teknis di Sulawesi utara, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara, yaitu Nontje Deisy Wewengkang dan Nurul Qomariah pada beberapa waktu lalu.

Salah satu cara memetakan kearifan lokal melalui cerita rakyat Tonsawang, yaitu dengan mengidentifikasi tiga ranah tempat berlakunya kearifan lokal. Tiga ranah tersebut, yakni hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Pemetaan kearifan lokal ini diungkapkan oleh Saini (2005). Ranah nilai kearifan lokal pada cerita rakyat masyarakat Tonsawang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan; ranah nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia; dan ranah nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat Tonsawang. Inilah yang menjadi fokus menarik untuk ditelisik lebih lanjut.

Cerminan nilai kearifan lokal secara vertikal yang menghubungkan manusia dengan Tuhan termaktub dalam cerita bermula saat penduduk yang mendiami daratan bekas gunung yang dinamakan Bukit Batu. Dahulu dikisahkan bahwa Gunung Soputan berada di Desa Kali. Penduduk berkeinginan agar dapat menempati wilayah yang datar untuk dijadikan wilayah pemukiman. Akhirnya, penduduk bersepakat memindahkan gunung tersebut dengan meminta bantuan para tetua desa untuk memanjatkan doa-doa menurut adat kepercayaan mereka. 

Adanya para tetua desa dan penduduk yang meyakini kemakbulan doa merupakan penunjang keberhasilan suatu usaha menandakan paham keyakinan terhadap penguasa di luar kehidupan mereka. Hal ini menjadi peneguh keyakinan terhadap penguasa alam, penguasa jagad, yaitu Tuhan. Meskipun masyarakat masih percaya kekuatan roh sebagai media pengantar kepada penguasa seluruh kehidupan, tetapi mereka paham bahwa ada penguasa seluruh kehidupan. Keyakinan berserah pada penguasa seluruh kehidupan dengan memanjatkan permohonan doa-doa dan penanaman berketuhanan merupakan hal yang harus diteladani. Sebagai manusia yang beriman, tentu keyakinan terhadap penguasa alam semesta tidak terbantahkan. Berusaha dan dibarengi berdoa adalah wujud ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kandungan nilai kearifan lokal dalam cerita rakyat Tonsawang yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia di antaranya adalah terdapat nilai adil dan beradab. Ini bersesuaian dengan sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab. Betapa nilai-nilai keadilan ditegakkan oleh Dotu Mamosey pada saat menjadi seorang pemimpin suku di bukit batu Desa Kali. Saat ia harus berpindah ke wilayah baru karena pemukiman sebelumnya harus ia tinggalkan. Sebagai pemimpin suku kala itu, Dotu Mamosey yang berasal dari Luaan tidak berbuat semena-mena terhadap pendatang, yaitu Dotu Lelewulen dari Wewelen yang hendak bermukim di wilayah yang sama. Ia justru dengan bijak membagi wilayah pemukiman dan kekuasaan kepadanya. Adab atau kebaikan budi pekerti Datu Mamosey sebagai pemimpin ditonjolkan melalui pembagian wilayah kekuasaan dan pemukiman. Tidak ada perang tanding mewarnai pembagian wilayah dan kekuasaan ini.  

Hal penting yang harus digarisbawahi, yaitu nilai kearifan lokal seperti ini patut digugu dan ditiru serta diteladani oleh para pemimpin. Ini pula sebagai media untuk mendekatkan manusia dengan manusia. Membangun kebersamaan melalui pemaduan kekuasaan, yaitu kekuasaan Dotu Mamosey dengan pengikutnya dan kekuasaan Dotu Lelewulen serta pengikutnya. Menyatukan kekuasaan untuk membangun wilayah baru di bukit batu, Desa Kali.
  Penulis berfoto bersama Sekretaris Camat Tombatu, Minahasa Tenggara (1)
Nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia juga terwujud dalam asal-usul gelar Tonsawang bagi anak suku Tondanow. Gelar ini berasal dari kata sumawang yang bermakna datang membantu atau saling menolong. Nama gelar ini bermula dari peristiwa saat dua terowongan yang telah dibuat oleh Dotu Lelemboto dan Dotu Kandolo Balang membuat air danau surut sehingga membentuk dua tempat daratan. Daratan pertama dinamakan Doro’ol yang dijadikan tempat pemukiman oleh Dotu Damosundog dan Tandayu. Adapun daratan yang kedua diberi nama Tate, dimukimi oleh Dotu Tompunu sedangkan warga yang tinggal di Kali tetap dipimpin oleh Dotu Mamosey. Meskipun mereka telah menempati wilayah yang berbeda, tetapi kebersamaan mereka tidak berakhir, Dotu Mamosey tetap menjadi kepala suku mereka. Oleh karena itu, mereka pun diwajibkan untuk sumawang (datang membantu atau bakutolong) pekerjaan Dotu Mamosey, seperti bekerja berkebun di Gunung Potubu. Sifat saling membantu ini atau sumawang menjadi gelar bagi anak suku Toundanow, yaitu Tounsawang. Tounsawang berasal dari kata tou bermakna orang dan sawang bermakna datang membantu atau bakutolong/saling menolong.

Melalui cerita asal-usul penamaan Tonsawang ini tersurat budaya gotong-royong yang bersesuaian dengan akar budaya dan Indonesia dan ternyata lekat juga dalam masyarakat Minahasa Tenggara. Pemupukan budaya saling membantu tertanam dengan baik dalam nilai-nilai pemahaman masyarakat Minahasa Tenggara sehingga terciptalah budaya mapalus. Nilai-nilai luhur ini perlu diwariskan dari generasi ke generasi sebagai akar dan jati diri bangsa Indonesia.
Sisi nilai kearifan lokal lain yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia terwujud dari perilaku menjaga kebersihan yang dicontohkan oleh Ratu Oki, pemimpin anak suku Tonsawang kala itu dengan kisah lesung batu, yang dikenal dengan batu Oki. Perilaku hidup bersih mengemuka dengan keberadaan batu lesung yang airnya tidak pernah kering dan konon digunakan sebagai tempat cuci tangan dan kaki oleh Ratu Oki sebelum masuk ke rumah peristirahatannya. 

Sungguh penanaman kebiasaan yang baik dengan perilaku menjaga kebersihan ternyata sudah diterapkan oleh nenek moyang Tonsawang, Minahasa Tenggara melalui cerita Ratu Oki dan batu Oki atau lesung batu. Kebiasaan-kebiasaan baik seperti ini perlu diungkap dan disebarluaskan kepada generasi penerus agar perilaku ini dapat diikuti dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih saat ini di masa pandemi yang menyadarkan kembali kebiasaan untuk hidup bersih maka nilai yang ditanamkan oleh seorang pemimpin suatu kerajaan seperti Ratu Oki bersesuaian dengan perilaku hidup bersih.

Ranah nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam terwujud dalam cerita pemindahan Gunung Soputan yang semula di bukit batu Desa Kali yang hendak ditempati penduduk sebagai wilayah pemukiman. Penduduk meminta bantuan para tetua desa untuk menyirami permukaan gunung dengan cuka saguer atau tuak dari pohon enau, lambat laun hari demi hari Gunung Soputan terkikis habis oleh siraman saguer para tetua desa yang disertai dengan permohonan doa-doa. Akhirnya, Gunung Soputan pun dapat berpindah ke daerah Langoan. Nilai dalam cerita ini mengisyaratkan tentang memanfaatkan alam untuk kepentingan bersama dengan tetap menjaga kelestariannya. Alam dapat ditindaki dengan bijak dengan cara tidak dihilangkan begitu saja karena akan menganggu ekosistem lingkungan sekitar. Tentu gunung memiliki penghuni yang beraneka ragam, baik hewan maupun tumbuhan. Hal itu disadari oleh masyarakat dengan mencari jalan keluar memindahkan Gunung Soputan ke wilayah lain di sekitar mereka. 
Berdamai dengan alam pun tercermin dalam keyakinan masyarakat Tonsawang, Minahasa Tenggara dalam menebang pohon hingga saat ini. Keyakinan teguh masih dipegang oleh masyarakat untuk menebang pohon berdasarkan waktu yang terbaik. Tidak sekadar asal menebang pohon untuk suatu kepentingan. Hal ini untuk menjaga ekosistem lingkungan hidup. Betapa nilai-nilai kearifan lokal mampu memahamkan masyarakat penganutnya untuk patuh pada pemahaman yang dipelihara dengan baik.

Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam sastra lisan Tonsawang, Minahasa Tenggara dalam hal ini cerita rakyat sungguh sarat dengan muatan teladan. Terdapat beberapa keteladanan yang patut untuk digugu dan ditiru oleh masyarakat milenial saat ini. Pertama, keteladanan untuk berikhtiar dengan cara berusaha dan dibarengi berdoa sebagai wujud ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keteladanan kedua, yaitu menegakkan nilai keadilan dan memiliki budi pekerti yang baik terhadap sesama. Ketiga, keteladanan untuk saling bahu-membahu dalam menyelesaikan pekerjaan tim. Keempat, keteladanan untuk berperilaku hidup bersih. Keteladanan kelima, yaitu menjaga ekosistem lingkungan alam tempat kita berpijak. 

Nilai-nilai yang ditelisik dalam penelitian kali ini masih berfokus pada wilayah Tonsawang, Kecamatan Tombatu dan belum menyeluruh hingga ke wilayah Minahasa Tenggara lainnya, seperti Ratahan, Ratatotok, Silian, Belang, Pasan, Pusomaen, Touluan sehingga masih berpeluang untuk dilakukan penelitian serupa di wilayah-wilayah tersebut. Menyelisik nilai-nilai kearifan lokal melalui sastra lisan khususnya cerita rakyat di penjuru Minahasa Tenggara lainnya akan memerkaya khasanah filosofi secara mendalam mengenai masyarakat Minahasa Tenggara. Terpumpun harapan semoga masyarakat mampu mencerap atau mengambil inti sari dari kesemua nilai-nilai kearifan lokal yang menjejak di tanah sendiri. Amin.




 
*Peneliti sekaligus Editor KBBI daring Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara
 

Pewarta : Nurul Qomariah
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024